Pukul 11.30 waktu singapura. 30 menit menuju check out. Kami pun mengemasi barang-barang kami. Memastikan semua aman dan tidak ada yang tertinggal di hotel.
Setelah itu kami langsung check out dari hotel. Bersamaan dengan perempuan asal Thailand yang tempat tidurnya berada di depan kami. Sepertinya gadis Thailand itu meninggalkan pasangannya yang bule. Pasangannya? Entahlah…
Tak lupa kami berterimakasih atas kebaikan dan keramahan para respsionis yang ada di sana. Senyum, salam, sapa, benar-benar sesuai sunnah. Setelah jam 12.00. Masih memanfaatkan wifi hotel. Email dari Agoda masuk. Menanyakan mengenai pelayanan hotel dan meminta kami untuk memberikan penilaia. 4.8 dari 5 bintang aku berikan. Satu kata. Luar biasa.

Setelah selesai menulis review di agoda.com kami berpamitan kepada resepsionis. Good bye bunc@radius. We gonna miss you…
Tujuan kami berikutnya adalah menuju daerah Geylang. Kawasan pecinan di Singapura. Jika yang tinggal di Little India adalah warga India kalangan menengah ke bawah. Dan di Geylang adalah kawasan orang-orang china yang standar kehidupannya rata-rata.
Kami menuju stasiun Aljunied. Menurut informasi, hotel yang akan kami tinggali berada di dekat sana. Lor Geylang 20. Itulah lokasi hotel kami. Namanya hotel Fragrance Ruby. Kali ini memang benar-benar hotel. Bukan hotel backpacker. Satu kamar sendiri.
Setiba di Aljunied kami kebingungan mencari alamat tersebut. Sembari membawa tas ransel yang cukup berat. Cuaca pun sangat panas. Bertanya ke beberapa warga sekitar dengan bahasa Inggris, namun sayang kebnyakan mereka berbahasa Mandarin. Dan kami tidak mengerti. Kami jadi teringat mbah Man.
Setelah hampir 40 menit kami memutari kawasan Geylang. Akhirnya kami menemukan Ruby Hotel. Rupanya kami mengambil rute terlalu jauh. Sebenarnya dari stasiun Aljunied kami hanya cukup menyeberang jalan . Hotel kami berada 2 blok di depan stasiun Aljunied tersebut.
Di loby hotel kami disambut dua wanita cantik berpakaian. Mereka bukan resepsionis. Mereka melihat kami. Mungkin merasa aneh dengan jilbab yang dipakai oleh Nurul.
Sambil menunggu resepsionis menyiapakan kamar kami kami duduk di kursi lobby. Dekat dengan dua wanita tadi. Nurul memeoltotiku. Suatu tanda jika aku tidak boleh berbuat sesuatu yang aneh-aneh. Meskipun tidak melihat kedua wanita tersebut aku masih bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Bukan isinya. Melainkan suaranya. Sepertinya bukan suara perempuan. Aku melirik mencoba memastikan. Sepertinya Nurul juga merasakan hal yang sama.
MasyaAllah ternyata benar. Meskipun cantik, tetap saja ada jakun yang menonjol di lehernya. Mereka bukan perempuan. Melainkan para kaum transeksual. Dalam bahasa kecilku dulu “Bencong”. Kaum yang tidak bersyukur atas pemberian Tuhan berupa jenis kelamin.
Fenomena ini merupakan PR bagi umat Islam termasuk kami. Betapa dunia akan ini akan punah ketika orang-orang seperti mereka diberikan ruang sehingga terus berkembang. Kalau boleh jujur saya sangat prihatin terhadap fenomena ini. Aku belum punya solusi untuk menyembuhkan mereka. Yang bisa aku lakukan adalah memotong generasi mereka. Melalui jalur pendidikan. Anak-anak harus diberikan pendidikan sesuai gendernya masing-masing dengan harapan laki-laki menjadi laki-laki. Dan perempuan-menjadi perempuan.
Sebenarnya sekolah-sekolah di Singapura sudah menerapkan itu. Yang paling terkenal adalah Raffles School. Mereka membedakan bukan hanya kelas tetapi juga sekolah untuk perempuan dan laki-laki. Sayangnya di Indonesia sendiri tidak sedikit para aktifis muslim yang mendukung dan memberikan ruang pada kaum-kaum transgender ini.
…
Kami mendapatkan kunci untuk memasuki kamar kami. 406. Itulah nomor kamar kami. Di lantai 4. Di elevator kami sama-sama tersenyum. Mengingat fenomena yang baru saja terjadi di hadapan kami.
Aku melihat banyak warung makanan berjejer di sekitar Geylang. Aku menyanyikan geylang sipatu geylang. Nurul menimpali “Gelang mas… bukan Geylang…”.
Aku tersenyum kemudian izin untuk merebahkan pungunggungku yang mulai letih akibat menggendong carrier terlalu lama.