Sepanjang lorong-lorong kami melihat banyak penjual makanan khas India. Baunya semerbak. Tidak jauh dari toko makanan itu berjejer pedagang kaki lima mejual rangakaian bunga-bunga untuk pemujaan, aroma wangi bunganya juga menusuk ke hidung mungkin karena kau tidak terbiasa dengan bau-bau ini saja. Tak sedikit dari pedagang-pedagang itu yang menghidupkan dupa menambah ke khasan wilayah Little India. Di sana juga aku temui toko-toko perhiasan. Hampir di sepanjang jalan Flamboyan. Toko-toko ini sepertinya hanya untuk kelas menengah atas.
Mungkin secara kondisi sosial ekonomi, orang-orang di Little India termasuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Gang-gang sempit dan agak sedikit “kumuh” meskipun tidak sekumuh pemukiman kumuh di Jakarta. Aku dapat merasakan adanya rentang yang terlalu jauh antara orang-orang keturunan India dengan penduduk Singapura yang lainnya. Entahlah. Atau itu mungkin karena perasaanku saja?
Yang jelas Little India memiliki keunikan tersendiri. Entah kenapa bau semerbak di sana membuat selera makanku semakin menurun. Aku dan Nurul yang awalnya ingin mencoba masakan khas India, jadi tidak makan sama sekalai masakan India. Dan kami tidak menyesalinya… alasannya… nanti tunggu episode berikutnya.

Hampir satu sengah jam kami menyusuri jalan-jalan di sana. Kami menemukan tempat yang unik. Orang-orang menyebutnya kuil Sri Maryaman. Terdengar bunyi-bunyi tabuhan genderang yang cukup keras. Dan suara terompet khas india yang biasa digunakan untuk menaklukkan ular berbisa. Kami mencoba melihat ke dalam, amun kuil itu sesak. Sepertinya ini hari peribadatan mereka, atau memang kuil ini setiap hari penuh sesak dengan orang beribadah? Kami juga belum tahu.
Cuaca begitu terik, aku pun terasa letih… jari-jari kakiku mulai lecet akibat sepatu yang kekecilan.
“Ayo kita pulang ke hotel! Kakiku sakit” kataku kepada Nurul
“Baiklah nanti dipasang plaster saja untuk mengurangi sakitnya…” jawabnya.